JOHN Rompas (80) biasa dipanggil Om John. Jalannya masih
tegap. Panca inderanya tak begitu ekstrim menurun. Daya tangkapnya pun masih
kuat. Satu yang istimewa, dia tahan bercerita.
Kisah yang dia ceritakan sering dia selingi demonstrasi
memakai gestur tubuhnya. “Kalau ambil tendangan penalti, Ramang selalu
membelakangi gawang,” katanya sambil maju tiga langkah. Dia menirukan Ramang
dengan pas. “Tanpa ancang-ancang, kemudian… buum! Bola masuk ke gawang, ” suara
Rompas bergetar.
Seperti cerita itu bagi Om John sendiri, kesannya bagi kami
menakjubkan. Wartawan senior, yang hingga kini masih aktif menulis itu mengaku
doyan nonton Ramang bertanding di lapangan Karebosi. “Di sana kandang PSM
sebelum Stadion Mattoanging dibangun,” ujarnya.
Dalam buku semibiografis Ramang – “Macan Bola”, kisah yang
ditulis M Dahlan Abubakar nyambung dengan cerita si Om. Dahlan menulis, “…Salah
satu kepiawaian Ramang yang banyak dikagumi orang yang pernah menyaksikan
penampilannya adalah ketika melakukan tendangan penalti.
Setelah meletakkan bola di titik putih, biasanya Ramang
tidak menghadap ke gawang lawan, tetapi langsung balik kanan. Bola yang selesai
dia letakkan pun tak ditatapnya lagi. Ketika peluit wasit berbunyi, dia
membalikkan badan, dan bola melesat dan masuk…” (halaman 109).
“Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama
dengan teman-teman,” kata Ramang semasa hidupnya kepada Dahlan. Tentu saja si
pemain besar itu hanya merendah belaka. Sebab penalti bukan set-piece atau
kerjasama, melainkan mutlak kepintaran penendang mengecoh penjaga gawang.
Ramang melewatkan dekade 80-an, hari-hari tua dalam
senjakala hidupnya, di sebuah rumah di Jalan Andi Mappanyukki, Makassar.
Temannya hanya dua, segelas kopi kental hitam dan sebatang rokok kretek. Ke
sanalah Dahlan, yang saat itu wartawan harian Pedoman Rakyat, sering
berkunjung.
Kepada Dahlan, Ramang menunjukkan sehelai foto hitam-putih
PSSI di Melbourne. Tampak delapan pemain di foto itu, yang lainnya tidak
terlalu jelas kelihatan. Empat di antara mereka memakai kopiah. Ada yang duduk,
dan ada yang berdiri, di anak tangga terbawah di sebuah pelataran entah gedung
apa. Ramang yang berkopiah, di foto itu tampak paling kanan.
“Foto ini yang memacu gairah saya untuk menulis kisah
hidupnya,” ucap Dahlan pelan tapi bernada keterkesanan tanpa dibuat-buat dengan
akting. Dari Dahlan, Ramang menerima apresiasi atas sejarahnya membela
kampungnya, kesebelasan nasional kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar