Senin, 19 Maret 2012

ramang si macan bola,, striker legenda indonesia yang luar biasa


JOHN Rompas (80) biasa dipanggil Om John. Jalannya masih tegap. Panca inderanya tak begitu ekstrim menurun. Daya tangkapnya pun masih kuat. Satu yang istimewa, dia tahan bercerita.

Kisah yang dia ceritakan sering dia selingi demonstrasi memakai gestur tubuhnya. “Kalau ambil tendangan penalti, Ramang selalu membelakangi gawang,” katanya sambil maju tiga langkah. Dia menirukan Ramang dengan pas. “Tanpa ancang-ancang, kemudian… buum! Bola masuk ke gawang, ” suara Rompas bergetar.

Seperti cerita itu bagi Om John sendiri, kesannya bagi kami menakjubkan. Wartawan senior, yang hingga kini masih aktif menulis itu mengaku doyan nonton Ramang bertanding di lapangan Karebosi. “Di sana kandang PSM sebelum Stadion Mattoanging dibangun,” ujarnya.

Dalam buku semibiografis Ramang – “Macan Bola”, kisah yang ditulis M Dahlan Abubakar nyambung dengan cerita si Om. Dahlan menulis, “…Salah satu kepiawaian Ramang yang banyak dikagumi orang yang pernah menyaksikan penampilannya adalah ketika melakukan tendangan penalti.

Setelah meletakkan bola di titik putih, biasanya Ramang tidak menghadap ke gawang lawan, tetapi langsung balik kanan. Bola yang selesai dia letakkan pun tak ditatapnya lagi. Ketika peluit wasit berbunyi, dia membalikkan badan, dan bola melesat dan masuk…” (halaman 109).






“Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan teman-teman,” kata Ramang semasa hidupnya kepada Dahlan. Tentu saja si pemain besar itu hanya merendah belaka. Sebab penalti bukan set-piece atau kerjasama, melainkan mutlak kepintaran penendang mengecoh penjaga gawang.

Ramang melewatkan dekade 80-an, hari-hari tua dalam senjakala hidupnya, di sebuah rumah di Jalan Andi Mappanyukki, Makassar. Temannya hanya dua, segelas kopi kental hitam dan sebatang rokok kretek. Ke sanalah Dahlan, yang saat itu wartawan harian Pedoman Rakyat, sering berkunjung.

Kepada Dahlan, Ramang menunjukkan sehelai foto hitam-putih PSSI di Melbourne. Tampak delapan pemain di foto itu, yang lainnya tidak terlalu jelas kelihatan. Empat di antara mereka memakai kopiah. Ada yang duduk, dan ada yang berdiri, di anak tangga terbawah di sebuah pelataran entah gedung apa. Ramang yang berkopiah, di foto itu tampak paling kanan.

“Foto ini yang memacu gairah saya untuk menulis kisah hidupnya,” ucap Dahlan pelan tapi bernada keterkesanan tanpa dibuat-buat dengan akting. Dari Dahlan, Ramang menerima apresiasi atas sejarahnya membela kampungnya, kesebelasan nasional kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar